RSS
Facebook
Twitter

Tampilkan postingan dengan label islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islami. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Mei 2013




Ramalan salah satu zodiak di tahun 2013:

Kehidupan cinta Anda tidak terlalu menyenangkan tahun ini. Akan sulit sekali berkomunikasi dengan si dia, tapi Anda harus berusaha keras jika ada sesuatu yang ingin Anda luruskan.
Hubungan Anda mungkin juga akan mengalami perubahan, namun ke arah yang lebih baik. Untuk yang single, pertemuan dengan pria baru akan mengubah hidup Anda.

Info-info semacam inilah yang menyebar di tengah-tengah pemuda di awal tahun baru 2013. Untuk menjalani tahun 2013, mereka membaca nasib lewat ramalan bintang atau zodiak tersebut. Mereka ingin mencari tahu bagaimana nasib cinta mereka, bagaimana rizki mereka, dan bagaimana keberuntungan mereka di tahun 2012. Padahal ajaran Islam sangat melarang keras hal ini, namun
banyak yang tidak memahaminya karena tidak mau belajar akidah dan mengenal Islam lebih dalam.
Ketua Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah) di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya mengenai hukum membaca ramalan bintang, zodiak dan semisalnya.
Jawaban beliau rahimahullah,
Yang disebut ilmu bintang, horoskop, zodiak dan rasi bintang termasuk di antara amalan jahiliyah. Ketahuilah bahwa Islam datang untuk menghapus ajaran tersebut dan menjelaskan akan kesyirikannya. Karena di dalam ajaran tersebut terdapat ketergantungan pada selain Allah, ada keyakinan bahwa bahaya dan manfaat itu datang dari selain Allah, juga terdapat pembenaran terhadap pernyataan tukang ramal yang mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib dengan penuh kedustaan, inilah mengapa disebut syirik. Tukang ramal benar-benar telah menempuh cara untuk merampas harta orang lain dengan jalan yang batil dan mereka pun ingin merusak akidah kaum muslimin. Dalil yang menunjukkan perihal tadi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab sunannya dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
Barangsiapa mengambil ilmu perbintangan, maka ia berarti telah mengambil salah satu cabang sihir, akan bertambah dan terus bertambah.[1]
Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang jayyid dari ‘Imron bin Hushoin, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَّرَ أَوْ سُحِّرَ لَهُ
Bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang beranggapan sial atau membenarkan orang yang beranggapan sial, atau siapa saja yang mendatangi tukang ramal atau membenarkan ucapannya, atau siapa saja yang melakukan perbuatan sihir atau membenarkannya.”[2]
Siapa saja yang mengklaim mengetahui perkara ghaib, maka ia termasuk dalam golongan kaahin (tukang ramal) atau orang yang berserikat di dalamnya. Karena ilmu ghaib hanya menjadi hak prerogatif Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah” (QS. An Naml: 65).
Nasehatku bagi siapa saja yang menggantungkan diri pada berbagai ramalan bintang, hendaklah ia bertaubat dan banyak memohon ampun pada Allah (banyak beristighfar). Hendaklah yang jadi sandaran hatinya dalam segala urusan adalah Allah semata, ditambah dengan melakukan sebab-sebab yang dibolehkan secara syar’i. Hendaklah ia tinggalkan ramalan-ramalan bintang yang termasuk perkara jahiliyah, jauhilah dan berhati-hatilah dengan bertanya pada tukang ramal atau membenarkan perkataan mereka. Lakukan hal ini dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam rangka menjaga agama dan akidah.
(Dinukil dengan perubahan redaksi dari Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 2: 123)
Syaikh Sholih Alu Syaikh -hafizhohullah- mengatakan, “Jika seseorang membaca halaman suatu koran yang berisi zodiak yang sesuai dengan tanggal kelahirannya atau zodiak yang ia cocoki, maka ini layaknya seperti mendatangi dukun. Akibatnya cuma sekedar membaca semacam ini adalah tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. Sedangkan apabila seseorang sampai membenarkan ramalan dalam zodiak tersebut, maka ia berarti telah kufur terhadap Al Qur’an yang telah diturunkan pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat At Tamhid Lisyarh Kitabit Tauhid oleh Syaikh Sholih Alu Syaikh pada Bab “Maa Jaa-a fii Tanjim”, hal. 349)
Intinya, ada dua rincian hukum dalam masalah ini.
Pertama: Apabila cuma sekedar membaca zodiak atau ramalan bintang, walaupun tidak mempercayai ramalan tersebut atau tidak membenarkannya, maka itu tetap haram. Akibat perbuatan ini, shalatnya tidak diterima selama 40 hari.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR. Muslim no. 2230). Ini akibat dari cuma sekedar membaca.
Maksud tidak diterima shalatnya selama 40 hari dijelaskan oleh An Nawawi: “Adapun maksud tidak diterima shalatnya adalah orang tersebut tidak mendapatkan pahala. Namun shalat yang ia lakukan tetap dianggap dapat menggugurkan kewajiban shalatnya dan ia tidak butuh untuk mengulangi shalatnya.”  (Syarh Muslim, 14: 227)
Kedua: Apabila sampai membenarkan atau meyakini ramalan tersebut, maka dianggap telah mengkufuri Al Qur’an yang menyatakan hanya di sisi Allah pengetahuan ilmu ghoib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkannya, maka ia berarti telah kufur pada Al Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad.” (HR. Ahmad no. 9532, hasan)
Namun jika seseorang membaca ramalan tadi untuk membantah dan membongkar kedustaannya, semacam ini termasuk yang diperintahkan bahkan dapat dinilai wajib. (Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1: 330)
Syaikh Sholih Alu Syaikh memberi nasehat, “Kita wajib mengingkari setiap orang yang membaca ramalan bintang semacam itu dan kita nasehati agar jangan ia sampai terjerumus dalam dosa. Hendaklah kita melarangnya untuk memasukkan majalah-majalah yang berisi ramalan bintang ke dalam rumah karena ini sama saja memasukkan tukang ramal ke dalam rumah. Perbuatan semacam ini termasuk dosa besar (al kabair) –wal ‘iyadzu billah-. …
Oleh karena itu, wajib bagi setiap penuntut ilmu agar mengingatkan manusia mengenai akibat negatif membaca ramalan bintang. Hendaklah ia menyampaikannya dalam setiap perkataannya, ketika selesai shalat lima waktu, dan dalam khutbah jum’at. Karena ini adalah bencana bagi umat. Namun masih sangat sedikit yang mengingkari dan memberi peringatan terhadap kekeliruan semacam ini.” (Lihat At Tamhid Lisyarh Kitabit Tauhid, hal. 349)
Dari sini, sudah sepatutnya seorang muslim tidak menyibukkan dirinya dengan membaca ramalan-ramalan bintang melalui majalah, koran, televisi atau lewat pesan singkat via sms. Begitu pula tidak perlu seseorang menyibukkan dirinya ketika berada di dunia maya untuk mengikuti berbagai ramalan-ramalan bintang yang ada. Karena walaupun tidak sampai percaya pada ramalan tersebut, tetap seseorang bisa terkena dosa jika ia bukan bermaksud untuk membantah ramalan tadi. Semoga Allah melindungi kita dan anak-anak kita dari kerusakan semacam ini.
Nasehat
Ramalan bukan hanya datang dari tukang ramal dengan bertanya langsung, namun saat ini bisa masuk ke rumah-rumah kaum muslimin dengan begitu mudah, baik lewat media cetak, TV, atau pun internet. Kita berlindung kepada Allah semoga diri kita, anak-anak kita, kerabat-kerabat kita terbebas dari membaca dan mempercayai ramalan bintang, serta dijauhi segala bentuk perbuatan syirik. Jadikanlah satu-satunya sandaran dalam segala urusan adalah Allah Ta’ala semata,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). Al Qurtubi mengatakan, ”Barangsiapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.” (Al Jami’ Liahkamil Qur’an, 18: 161). Jika Allah jadi satu-satunya sandaran, maka rizki, jodoh, dan segala urusan akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala.
إِنْ أُرِ‌يدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّـهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 7 Shofar 1433 H

[1] HR. Abu Daud no. 3905, Ibnu Majah no. 3726 dan Ahmad 1: 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan.
[2] HR. Al Bazzar dalam musnadnya.
Penulis Fathul Majid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, “Siapa saja yang menerjangi perkara-perkara yang disebutkan dalam hadits tersebut, berarti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri darinya. Bisa saja perkara yang dilakukan adalah kesyirikan seperti beranggapan sial. Bisa pula kekufuran seperti mempercayai tukang ramal dan melakukan sihir. Siapa saja yang ridho dan mengikuti hal-hal tadi, maka ia dihukumi seperti pelakunya karena ia menerima dan mengikuti hal yang batil.” (Fathul Majid, 316)

Minggu, 12 Mei 2013

Cara Berpakaian Dalam Pandangan Islam



 


       Tuntunan Agama Islam - Islam adalah agama yang indah dan sempurna dengan Al Qur-an sebagai pedoman, yang mengatur seluruh segi kehidupan manusia dari meja makan sampai ke medan tempur, tidak ketinggalan juga dengan cara berpakaian atau berbusana. Tidak ada sesuatu pun yang penting bagi manusia yang tidak disebutkan dalam kitab suci Al-Qur-ân, sebagaimana firman Allâh SWT.:

مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ               
Artinya :
"Tiadalah Kami lalaikan sesuatu pun di dalam Al-Kitab".
(Surah Al-An'âm (6):38)

            Menurut sebagian mufassir maksud ayat ini ialah : "Di dalam Al-Kitab yaitu Al-Qur-ân, telah ada pokok-pokok agama, norma-norma hukum, hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluq pada umumnya". Begitu-pula halnya dalam berbusana, Allâh SWT. berfirman:

يَابَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِيْ سَوْءَاتِكُمْ وَ رِيْشًا وَ لِبَاسُ التَّقْوَى  ذَلِكَ خََيْرٌ ذَلِكَ مِنْ ءَايَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ                                                 
Artinya :
Wahai anak Adam, seseungguhnya Kami telah menurunkan pada kalian pakaian untuk menutupi 'aurat kalian, dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa, itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan All
âh agar mereka ingat.
(Surah Al-A'râf (7):26)

            Dalam ayat ini Allâh SWT. menjelaskan tentang fungsi busana dalam tiga unsur, yaitu :
1.      Menutupi 'aurat
2.      Untuk keindahan dan hiasan, termasuk juga sebagai upaya pemeliharaan dari panas dan dingin
3.      Pakaian taqwa atau "Libâsut-Taqwâ". Al-Imâm Al-Qurthubî berkata dalam tafsirnya:

قَالَ كَثِيْرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ: هَذِهِ اْلآيَةِ دَلِيْلٌ عَلَى وُجُوْبِ سَتْرِ الْعَوْرَةِ لأَنَّهُ قَالَ: يُوَارِ سَوْءَاتِكُمْ                                                   
Artinya :
"Telah berkata sebagian besar 'ulamâ' bahwa ayat ini merupakan dalil wajibnya menutup 'aurat, karena -- secara tegas -- Allâh berfirman: "untuk menutupi 'aurat kalian".

            Jadi, dalam Islam fungsi busana yang pertama ialah sebagai penutup 'aurat. Kemudian disebut pula fungsi kedua, yaitu sebagai perhiasan, sebagaimana disebutkan dalam tafsir Jalâlain:

هُوَ مَا يَتَجَمَّلُ بِهِ مِنَ الثِّيَابِ                
Artinya :
"Itu ialah pakaian yang digunakan untuk menghias atau memperindah diri".

            Inilah fungsi busana atau berpakaian dalam Islam, sebagaimana dikatakan oleh seorang mufassir: Pada awalnya busana itu digunakan sekedar untuk menutup 'aurat, dengan kemajuan zaman manusia semakin gemar mempercantik diri dengan busana. Dan ini adalah busana jasmani; tetapi menurut Al-Qur-ân ada jenis busana yang ketiga, dan inilah busana yang paling baik, yaitu "Libâsut-Taqwâ" atau "Busana Ketaqwaan". Jadi, taqwa atau ketaqwaan kepada Allâh adalah busana hati yang bisa melindungi manusia dari perbuatan jahat. Dengan kata-lain, taqwa adalah perhiasan hati atau jiwa. Memperelok jasmani dengan busana yang indah memang baik, namun jauh lebih baik memperelok jiwa dengan taqwa atau busana taqwa, sebagaimana disebutkan dalam sebuah syair:

Sesungguhnya, seseorang yang belum menggunakan busana taqwa,...
Semua kekurangan dirinya terlihat jelas, meskipun ia mengenakan busana yang indah....
Karena, tujuan seseorang mengenakan busana adalah mentaati Rabb-nya....
Tidak ada kebaikan sama-sekali bagi orang yang menentang Allâh.. (walau pun ia ditutupi busana yang indah dan mahal)

            Ma'bad Al-Jahnî mengatakan bahwa yang dimaksud "Libâsut-Taqwâ" atau "Busana Ketaqwaan" adalah: "sifat malu". Sedangkaan menurut Ibnu 'Abbâs ialah :"perbuatan yang baik ('amal-shâlih) dan menampilkan wajah yang manis".


Memakai Busana Baru Dan Indah


            Memakai busana baru adalah anjuran Rasûlullâh saw. sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

إلْبَسْ جَدِيْدًا وَ عِشْ حَمِيْدًا وَ مُتْ شَهِيْدًا وَ يَرْزُقَكَ اللَّهُ قُرَّةَ عَيْنٍ فِي الدُّنْيَا وَ اْلآخِرَةِ       
Artinya :
"Pakailah busana yang baru, hiduplah secara terpuji, matilah sebagai syahid, dan Allâh akan menganugerahkan-mu kesejukan pandangan (kegembiraan) di dunia dan akhirat".
(Lihat Al-Fathul-Kabîr no.: 1245)

Ibnu Mas'ûd meriwayatkan bahwa Rasûlullâh saw. bersabda : "Tidak akan masuk Surga orang yang di dalam hatinya ada sebiji sawi dari kesombongan". Lalu ada seorang bertanya kepada Beliau: "Sesungguhnya jika ada seorang yang senang memakai busana yang baik dan sandal yang baik (apakah itu termasuk kesombongan?)". Beliau saw. pun bersabda :

إِنَّ اللَّهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَ غَمْطُ النَّاسِ                   
Artinya :
"Sesungguhnya Allâh itu indah (dan) menyukai keindahan, kesombongan adalah menolak kebenaran dan menghina manusia".
(H.R. Muslim)

Berbicara keindahan berbusana tidak lepas dari warna, motif dan model; dan Islâm tidak membatasi atau memberi batas dalam persoalan itu, sepanjang fungsi utama yaitu menutup 'aurat tetap terpenuhi. Namun, bagi kaum pria dilarang menyerupai busana wanita, baik dalam model maupun warna, begitu-pula sebaliknya.

Rasûlullâh saw. pun menggunakan busana dengan berbagai macam model dan warna, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Al-Barâ' r.a., ia berkata :

كَانَ النَّبِيُّ (ص) مَرْبُوْعًا وَ قَدْ رَأَيْتُهُ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَأَيْتُ أَحْسَنَ مِنْهُ               
Artinya :
"Adalah Nabi saw. berperawakan sedang, dan sungguh aku pernah melihat Beliau mengenakan "Hullah" berwarna merah, dan aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih indah dan pantas -- dalam mengenakan hullah -- dari Beliau".
(H.R. Al-Bukhârî juz VII hal. 197)
           
Hadits ini menyebutkan model atau bentuk busana yaitu "Hullah" dan warna merah. Al-Imâm Muhammad bin Abû Bakar bin 'Abdul-Qâdir Ar-Râzî (rahimahullâh) menjelaskan bahwa "Hullah" ialah :

إِزَارٌ وَ رِدَاءٌ وَ لاَ تُسَمَّى حُلَّةً حَتَّى تَكُوْنَ الثَّوْبَيْنِ                        
Artinya :
"Kain sarung dan baju luar (seperti 'aba-ah atau jubah, jaket dll). Tidak bisa disebut Hullah melainkan --- busana -- yang terdiri dari dua kain tersebut".
(Lihat Mukhtârush-Shihâh hal. 151)
           
Dalam hadits yang lain, Rasûlullâh saw. menganjurkan mengenakan busana putih, sebagaimana sabda Beliau:

إلْبَسُوا الثِّيَابَ الْبَيْضَ , فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَ أَطْيَبُ ...........        
Artinya :
"Kenakanlah busana putih, karena ia lebih bersih dan lebih baik.......".
(Lihat Al-Fathul-Kabîr no.: 1246)

Rasûlullâh saw. juga sangat menyukai warna hijau sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Abî Rimsyah At-Taimî r.a., ia berkata :

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ  ( ص ) وَ عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَخْضَرَانِ                    
Artinya :
"Aku pernah Rasûlullâh saw. melihat mengenakan sepasang kain (baju&celana) berwarna hijau".
(H.R. Abû Dâwûd dan At-Tirmidzî dengan sanad yang shahîh. Lihat Riyâdhush-Shâlihîn hal.345)

Al-Bazzâr juga meriwayatkan dalam "Musnad"nya dari Anas r.a.:

كَانَ أَحَبُّ اْلأَلْوَانِ إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ ( ص ) الْخَضْرَةَ               
Artinya :
"Warna yang paling disukai oleh Rasûlullâh saw. adalah hijau".

Syaikh Muhammad Nâshirud-Dîn Al-Albânî (rahimahullâh) menyebutkan hadits ini dalam kitab beliau "Al-Ahâdîtsush-Shahîhah" juz V hal. 86 no.: 2054; dan menempatkannya pada Bab Al-Libâs Waz-Zînah (Bab Pakaian dan Perhiasan) hal. 752.

Al-Imâm Al-Bukhârî juga telah menyebutkan dalam kitab "Shahîhnya" jenis-jenis atau model-model busana yang dikenakan oleh Rasûlullâh saw. seperti: jubah, celana (sarâwîl), gamis dsb. Begitu-pula mengenai warna, telah beliau sebutkan dalam kitab "Shahîhnya" juz VII hal. 182-219.

Berdasarkan keterangan-keterangan ini, dapatlah disimpulkan bahwa agama Islâm sesungguhnya menganjurkan umatnya untuk berbusana yang baik, indah dan sedap dipandang, tentunya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing orang, tidak memaksakan diri di luar kemampuan dan tidak juga melampaui batas atau berlebih-lebihan mentang-mentang mampu. Karena sifat suka berlebih-lebihan dapat menjerumuskan ke dalam "khuyalâ'", yaitu perasaan 'ujub, sombong, mengagumi diri sendiri dan menganggap rendah orang lain. Dan ini sangat dilarang oleh agama, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw.:

لاََ يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Artinya :
"Pada hari qiyamat Allâh tidak akan melihat (memperdulikan) kepada siapa-saja yang -- berjalan dengan -- menarik kainnya karena perasaan sombong".
(H.R. Al-Bukhârî juz VII hal. 183)

Busana Wanita dalam Islam (Muslimah)


Dalam berbusana, Islâm sangat berhati-hati menjaga kehormatan wanita dan kehati-hatian itu bukan merupakan penghinaan terhadap wanita, sebaliknya justru menjaga kepribadian wanita. Secara alamiah, memang ada perbedaan mendasar antara pria dan wanita. Dan kehidupan ini memang dibangun atas dasar perbedaan. Sekiranya antara pria dan wanita tidak ada perbedaan, niscaya kehidupan ini tidak ada dan tidak menjadikan kemashlahatan sepanjang perjalanan umur manusia. Masalah perbedaan ini telah Allâh sebutkan dalam Al-Qur-ân:

وَ لَيْسَ الذَّكَرُ كَاْلأُنْثَى
Artinya :
"Dan anak laki-laki tidak sama dengan anak perempuan".
(Surah Ali 'Imran (3):36)
           
Demikian pula halnya dalam berbusana, ada perbedaan antara pria dan wanita, sesuai ukuran perbedaan 'aurat. Dalam hal ini Allâh SWT. berfirman:
وَ لاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَ لْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ              

Artinya :
Janganlah mereka (wanita-wanita) itu menampakkan perhiasan melainkan apa yang zhahir saja dan hendaklah mereka ulurkan kerudung kepala mereka di atas dada mereka.
(Surah An-Nûr (24):31)
           
Kata "Al-Khumur" jama'nya "Al-Khimâr" dalam ayat ini menurut Al-Imâm Al-Qurthubî  adalah:

مَا تُغَطِّي بِهِ رَأْسَهَا                    
Artinya :
"Apa yang digunakan oleh wanita untuk menutup kepalanya".

Dalam ayat yang lain Allâh SWT. berfirman:

يأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ وَ بَنَاتِكَ وَ نِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنِ وَ كَانَ اللَّهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا                                   
Artinya :
Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isteri-mu dan puteri-puteri-mu serta para isteri orang-orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, dan tidak akan diganggu. Dan Allâh Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
(Surah Al-Ahzâb (33):56)

Al-Imâm Al-Qurthubî mengatakan bahwa "Jilbab" ialah :
الثَّوْبُ الَّذِيْ يَسْتُرُ جَمِيْعَ الْبَدَنِ                     
Artinya :
" Kain atau pakaian yang dapat menutupi seluruh tubuh".

Dari dua ayat ini dapat disimpulkan bahwa setiap wanita muslimah diharuskan menggunakan busana yang menutupinya dari ujung kepala hingga ujung kaki, kecuali wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Siti 'Â-isyah, ummul-mu'minîn r.a., ia berkata :

إِنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى النَّبِيِّ  (ص ) وَ عَلَيْهَا ثِيَاٌب رِقَاقٌ, فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَ قَالَ: يَاأَسْمَاءَ إِنَّ امْرَأَةً إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَ هَذَا وَ أَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَ كَفَّيْهِ                                                          
Artinya :
Sesungguhnya Asmâ' binti Abî Bakar pernah datang menghadap Nabi saw. dengan berpakaian tipis. Lalu Nabi saw. berpaling darinya, dan Beliau bersabda : "Wahai Asmâ', sesungguhnya seorang wanita yang telah haidh (cukup umur), tidak boleh dilihat dia melainkan ini dan ini", sambil Nabi saw. mengisyaratkan kepada muka dan dua tangannya.
(H.R. Abû Dâwûd)
           
Al-Qur-ân telah memerintahkan kaum pria mu'min untuk menahan pandangan mereka serta memelihara kemaluan mereka, sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nûr (24):30:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَ يَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ   إِنَّ اللَّهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ                                                       
Artinya :
"Katakanlah kepada kaum pria mu'min agar mereka menundukkan pandangan mereka, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allâh Maha Waspada terhadap apa yang mereka perbuat".

Menahan pandangan mata merupakan dasar untuk menjaga kemaluan, itulah sebabnya dalam ayat ini menahan pandangan mata disebut lebih awal. Bersamaan dengan itu Allâh SWT. pun memerintahkan kaum wanita mu'minat untuk menyembunyikan daya tarik seksualnya yaitu dengan busana yang menutupi seluruh dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki kecuali wajah dan kedua telapak tangan, agar tidak membangkitkan nafsu birahi kaum pria. Karena pandangan mata mengandung racun Iblîs yang berbahaya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits qudsî :

النَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَام إِبْلِيْسَ مَنْ تَرَكَهَا مَخَافِتْي أَبْدَلْتُهُ إِيْمَانً ايَجِدْ حَلاَوَتَهُ فِي قَلْبِهِ                                                           
Artinya :
"Pandangan mata -- pria terhadap wanita asing dan juga sebaliknya -- adalah panah dari panah-panah Iblîs yang beracun. Siapa-saja yang meninggalkannya karena rasa takut pada-Ku, maka Aku berikan keimanan padanya yang dapat ia rasakan manisnya".
(Lihat At-Targhîb wat-Tarhîb juz III hal. 5)

Demikian pula halnya perintah Allâh SWT kepada para wanita mu'minat.:

وَ قُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَ يَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ                     
Artinya :
"Dan katakanlah kepada para wanita mu'minat agar mereka menundukkan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka.....".
(Surah An-Nûr (24):31)                                                                                                                                   

Perintah Allâh SWT. kepada para pria mu'min dan para wanita mu'minat agar menahan pandangan mata tidak lain untuk menjaga keselamatan hubungan antara kaum pria dan wanita, dan untuk membatasi bebasnya hubungan antara kaum pria dan wanita.


  • Yang ikut-ikut nih ....

  • isi bahasa mu!



  • Get this widget!